Catatan
Guru SD dulu cukup berijzah SPG (Sekolah Pendidikan
Guru) atau SGO (sekolah Guru Olah Raga) atau PGA (Pendidikan Guru Agama)
Sekolah sekolah tersebut setingkat SMA sekarang, tak diperlukan Ijazah S1
seperti sekarang, maka kalau guru SD
melanjutkan kuliah dianggap aneh malah ada yang mencibir memandang berlebihan.
Guru SD diangkat CPNS dalam usia yang
masih belia dan diberi pangkat II/a, bisa dibayangkan kehidupan guru pada wktu
itu dengan gaji Rp 14.500,00 (Empat Belas Ribu Lima Ratus Rupiah)
(Cerita bersambung bagian 2 )
Keegoan membuat
jiwa
kita menjadi gelap, dan Nurani kita menjadi kelam, hati yang cemerlang arif dalam menjatuhkan pandangan,akan membuat kita dapat membedakan antara
kegelapan dengan cahaya, membedakan antara haq dan bathil,
Jangan cemaskan teriknya panas yang mematangkan padi, dan
jangan cemaskan hujan yang menyuburkan daun, biarlah tempaan akan mematangkan jiwa kita menjalani
kehidupan. Kita harus berjuang melangkah
dalam ayunan qudrah dan iradah Allah.
Menetapkan jiwa untuk mengikuti kuliah
menempuh jenjang S1, itu menjadi pilihan hatiku, bukan semata mata karena
pelarian dari kandasnya cinta, tapi itu pilihan hidup. Tak sedikit yang
mencibir, karena anggapan orang terutama dikalangan guru SD, apa gunanya
kuliah cukup Pendidikan dari SPG,
rasanya berlebihan kalau untuk guru SD harus kuliah lagi, tapi aku tak peduli
dengan anggapan orang, biarlah suatu saat zaman akan berubah, dan terbukti
sekarang tak ada lagi guru SD hanya setingkat SLA seperti SPG dan SGO, tapi
minimal harus S1.
Kesedihanku perlahan lahan sirna melebur
dalam kesibukan tugas sebagai guru dan tugas di campus, aku harus
bangkit-bagkit dari keterpurukan,
Cintaa….!
Kita tak seharusnya jadi bucin (budak
cinta), sebab yang kurasakan cinta bisa datang dan pergi tanpa permisi, Emang
indahnya cinta seperti gemercik air di sela
bebatuan, seperti arus yang tenang mengalir sungai sungai di pedalaman,
cinta merambah tanah menghijaukan dedaunan memberi penghidupan. Cinta bisa berupa kasih tanpa
suara. Embun yang merayap keseluruh
persada. Lembut selembut air di kolam sebening kaca. Tapi kalua cinta sudah
berulah petaka dahsyat yang bisa membuat kita terseok seok dalam kehidupan
Adakah kita memahami cinta?
Diawal-awal putus cinta aku merasakan Wanita itu macan…..jangan dekati
kejaaammm.
Tapi aku harus jadi pawang macan yang
siap menjadikan macan yang buas untuk bertekuk lutut dikakiku , seperti surat
terakhirku “Kau harus bertekuk lutut menyembah telapak kakiku!” Yang perlu kita
pahami usia kita terus merayap setiap detik, memacu setiap saat ke ujung waktu
semuanya pasti melepaskan kehidupan dan berakhir dengan helaan napas dan
berakhir dalam kematian itu pasti, pasti tak bisa dihindari hanya yang tak tau kapan Malakal maut datang
menjemput
Pada waktunya pasti datang, Cuma sebelum
datang kita harus menentukan pilihan.
Hidup cuma-cuma atau hidup harus
bermanfaat?
Ya tentu …! Pilihan yang tepat, hidup
harus bermanfaat bagi orang lain selain untuk diri sendiri. Teringat falsafah
kehidupan;
“jangan
mati dalam kehidupan, kita harus bisa merasakan hidup dalam kehidupan bahkan jalan terbaik bisa hidup dalam kematian” Hemmmhh bagi pembaca
yang tak pernah belajar Filsapat pusing bukan? Baik sedikit ku jelaskan
Mati
dalam kehidupan berarti hidup kita tidak bisa berbuat kebaikan, jangankan untuk
orang lain untuk diri sendiri saja hanya mengandalkan orang lain. Hidup dalam
kehidupan kita bisa berbuat banyak untuk diri sendiri dan berguna orang lain,
sedangkan hidup dalam kematian meskipun
orangnya sudah mati, tapi karena jasa-jasanya, karena perbuatan dan
kebaikan semasa hidup, masih tetep dikenang, tatap abadi seperti hanya para
pahlawan.
Hari
terus bergulir dengan begitu cepat, tak terasa aku sudah masuk ke Semester
4 mengikuti kuliah di UNIVERSITAS
SILIWANGI Tasikmalaya, Fakultas Pendidikan program Studi Bahasa dan Sastra
Indonesia. Pulang
pergi dari Wisma Guru SDN Karangmulya, di kampung Citoe Desa Cidadap Kec.
Karangnuggal. Berangkat Jumat sore, pulang mingu sore. Cape? Ya memang Cape,
apalagi kendaraan pada waktu itu harus menunggu lama, tidak seperti sekarang.
Pada waktu itu untuk ukuran Guru SD
jangankan membeli motor, untuk kehidupan
sehari-hari saja masih morat-marit, tapi hal ini terus kujalani karena disisi lain aku menemukan
kesenangan. Tekadku kuliahku harus selesai secepat
mungkin.
Senin
sore pada waktu itu, ada tugas kuliah yang harus selesai Sabtu yang akan dating.
Kebetulan, sore itu teman kuliahku datang utuk
mengerjakan tugas bersama-sama, teman satu jurusan dia ikut kuliah di kelas
karyawan. Orang
pribumi juga satu kampung dengan tempat
tugasku mengajar. Gadis belia dari keluarga orang cukup berada. Satu jam tugas selesai dikerjakan, aku beranjak maksud untuk menikmati cahya mentari
disore hari di tepi pantai, Tapi Yanti temanku ikut juga, ya gak apa-apa ada
teman ngobrol, tapi kadang aku mersakan risi dia memberikan perhatian kadang berlebihan, baik di campus
maupun kalau pulang kekampungnya, tapi
yah mungkin itu hanya anggapanku saja.
Sampai
di dekat pantai aku naik ke bukit Karang Bayawak menyaksikan deburan ombak dan
cahaya yang mulai meredup yang kemudian munculnya rona merah menebar di ufuk barat
“Tuh lihat cahaya yang kemerahan itu
indah ya” Yanti teman perempuan yang
duduk disampingku berkata sambal menunjuk cahaya yang kemerahan
Apa lagi matahari menjelang terbenam cahayanya begitu indah, dan akhirnya ditutup dengan cahaya mega senja yang berpedaran dengan aneka warna”.
“Maksudnya”
Bukankah sering saya katakan ”Man asyrakat bidayatahu asrakat nihatahu....”
Barang
siapa terpancar cahaya diawalnya maka akan terpancar pula cahaya diakhirnya....
Kemudian di malam hari kita bisa menikmati cahaya bintang bersama kebebasan yg
tiada akhir.....dan merasakan kedamaian dan kesejukan bersama cahaya purnama
yang indah.....
Hemmmhhh…. Nafas Yanti pun mendesah dengan kelembutan ”YAA RABBI, YAA RABBI, YAA RABBI....”
Terlihat dia mencoba menatapku, tapi
aku mencoba menepis dengan mengalihkan perhatiannya, walaupun secara sembunyi
kulirik sedikit, cantik emang dia cantik, tapi ah kutepis jauh jauh pikiran
itu.
Senja pun merangkak perlahan -lahan
keindahan yang tiada tara dari pedaran cahaya membuat lukisan Illahi dalam
kombinasi pedaran warna yang menakjubkan, pancaran warna warna kuningnya
melukiskan bianglala di atas dedaunan dan hamparan air laut yang kini beubah warna jingga yang pupus,
warna itu seperti melukiskan sisa kesenduan yang masih memahat dalam hati.
Hemmh sebuah lukisan ujung hari, laksana lukisan
ujung kehidupan. Kilauan cahaya lembayung yang hampir tenggelam seperti
menggoreskan kenangan yang melaju di ujung usia, seperti menoreh peristiwa masa
silam. Suara angin semakin
lirih, deburan ombak terdengar bersahutan seolah-olah bertasbih memuja sang
Illahi, pencipta keindahan dari segala yang paling indah,
Hari merangkak menuju rembang petang, akhirnya aku mengajak Yanti beranjak dari bukit Karang Bayawak menuju
rumah, setelah berjalan kira kira 10
menit sampai di persimpangan dia berpamitan sambal menyungingkan senyum. Hemmh……senyum gadis belia polos tapi mungkin
punya arti.