Shopee

Bagian 2 Keegoan membuat jiwa kita menjadi gelap

 

BIANGLALA CINTA SEORANG KELANA
Karya : Drs. Undang Sumargana, M.Pd

Catatan

Guru SD dulu cukup berijzah SPG (Sekolah Pendidikan Guru) atau SGO (sekolah Guru Olah Raga) atau PGA (Pendidikan Guru Agama) Sekolah sekolah tersebut setingkat SMA sekarang, tak diperlukan Ijazah S1 seperti sekarang, maka kalau  guru SD melanjutkan kuliah dianggap aneh malah ada yang mencibir memandang berlebihan. Guru SD diangkat CPNS  dalam usia yang masih belia dan diberi pangkat II/a, bisa dibayangkan kehidupan guru pada wktu itu dengan gaji Rp 14.500,00 (Empat Belas Ribu Lima Ratus Rupiah)

 

(Cerita bersambung bagian 2 )

Keegoan membuat jiwa kita menjadi  gelap, dan Nurani kita menjadi kelam, hati yang cemerlang arif dalam menjatuhkan pandangan,akan membuat kita  dapat membedakan antara kegelapan dengan cahaya, membedakan  antara haq dan bathil, Jangan cemaskan teriknya panas yang mematangkan padi, dan jangan cemaskan hujan yang menyuburkan daun, biarlah tempaan  akan mematangkan jiwa kita menjalani kehidupan. Kita  harus berjuang melangkah dalam ayunan qudrah dan iradah Allah.

Menetapkan jiwa untuk mengikuti kuliah menempuh jenjang S1, itu menjadi pilihan hatiku, bukan semata mata karena pelarian dari kandasnya cinta, tapi itu pilihan hidup. Tak sedikit yang mencibir, karena anggapan orang terutama dikalangan guru SD, apa gunanya kuliah  cukup Pendidikan dari SPG, rasanya berlebihan kalau untuk guru SD harus kuliah lagi, tapi aku tak peduli dengan anggapan orang, biarlah suatu saat zaman akan berubah, dan terbukti sekarang tak ada lagi guru SD hanya setingkat SLA seperti SPG dan SGO, tapi minimal harus S1.

Kesedihanku perlahan lahan sirna melebur dalam kesibukan tugas sebagai guru dan tugas di campus, aku harus bangkit-bagkit dari keterpurukan,

Cintaa….!

Kita tak seharusnya jadi bucin (budak cinta), sebab yang kurasakan cinta bisa datang dan pergi tanpa permisi, Emang indahnya cinta seperti gemercik air di sela  bebatuan, seperti arus yang tenang mengalir sungai sungai di pedalaman, cinta merambah tanah menghijaukan dedaunan memberi penghidupan. Cinta bisa berupa kasih tanpa suara.  Embun yang merayap keseluruh persada. Lembut selembut air di kolam sebening kaca. Tapi kalua cinta sudah berulah petaka dahsyat yang bisa membuat kita terseok seok dalam kehidupan

Adakah kita memahami cinta?

Diawal-awal putus cinta  aku merasakan Wanita itu macan…..jangan dekati kejaaammm.

Tapi aku harus jadi pawang macan yang siap menjadikan  macan yang buas  untuk bertekuk lutut dikakiku , seperti surat terakhirku “Kau harus bertekuk lutut menyembah telapak kakiku!” Yang perlu kita pahami usia kita terus merayap setiap detik, memacu setiap saat ke ujung waktu semuanya pasti melepaskan kehidupan dan berakhir dengan helaan napas dan berakhir dalam kematian itu pasti, pasti tak bisa dihindari  hanya yang tak tau kapan Malakal maut datang menjemput

Pada waktunya pasti datang, Cuma sebelum datang kita harus menentukan pilihan.

Hidup cuma-cuma atau hidup harus bermanfaat?

Ya tentu …! Pilihan yang tepat, hidup harus bermanfaat bagi orang lain selain untuk diri sendiri. Teringat falsafah kehidupan;

            “jangan mati dalam kehidupan, kita harus bisa merasakan hidup dalam kehidupan  bahkan jalan terbaik bisa  hidup dalam kematian” Hemmmhh bagi pembaca yang tak pernah belajar Filsapat pusing bukan? Baik sedikit ku jelaskan

            Mati dalam kehidupan berarti hidup kita tidak bisa berbuat kebaikan, jangankan untuk orang lain untuk diri sendiri saja hanya mengandalkan orang lain. Hidup dalam kehidupan kita bisa berbuat banyak untuk diri sendiri dan berguna orang lain, sedangkan hidup dalam kematian meskipun  orangnya sudah mati, tapi karena jasa-jasanya, karena perbuatan dan kebaikan semasa hidup, masih tetep dikenang, tatap abadi seperti hanya para pahlawan.

                        Hari terus bergulir dengan begitu cepat, tak terasa aku sudah masuk ke Semester 4  mengikuti kuliah di UNIVERSITAS SILIWANGI Tasikmalaya, Fakultas Pendidikan program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Pulang pergi dari Wisma Guru SDN Karangmulya, di kampung Citoe Desa Cidadap Kec. Karangnuggal.  Berangkat Jumat sore,  pulang mingu sore. Cape? Ya memang Cape, apalagi kendaraan pada waktu itu harus menunggu lama, tidak seperti sekarang. Pada waktu itu  untuk ukuran Guru SD jangankan membeli motor,  untuk kehidupan sehari-hari saja masih morat-marit, tapi hal ini  terus kujalani karena disisi lain aku menemukan  kesenangan. Tekadku kuliahku harus selesai secepat mungkin.

                        Senin sore pada waktu itu, ada tugas kuliah yang harus selesai Sabtu yang akan dating.  Kebetulan,  sore itu teman kuliahku datang utuk mengerjakan tugas bersama-sama, teman satu jurusan dia ikut kuliah di kelas karyawan. Orang pribumi juga satu  kampung dengan tempat tugasku mengajar. Gadis belia dari keluarga orang cukup  berada. Satu jam tugas selesai dikerjakan,  aku beranjak maksud untuk menikmati cahya mentari disore hari di tepi pantai, Tapi Yanti temanku ikut juga, ya gak apa-apa ada teman ngobrol, tapi kadang aku mersakan risi dia memberikan  perhatian kadang berlebihan, baik di campus maupun kalau  pulang kekampungnya, tapi yah mungkin itu hanya anggapanku saja.

                        Sampai di dekat pantai aku naik ke bukit Karang Bayawak menyaksikan deburan ombak dan cahaya yang mulai meredup  yang kemudian  munculnya rona merah menebar di ufuk barat

“Tuh lihat cahaya yang kemerahan itu indah ya” Yanti  teman perempuan yang duduk disampingku berkata sambal menunjuk cahaya yang kemerahan
           Apa lagi  matahari menjelang terbenam cahayanya   begitu indah, dan akhirnya ditutup dengan cahaya mega senja yang berpedaran dengan aneka warna”.

“Maksudnya”
Bukankah sering saya katakan
Man asyrakat bidayatahu asrakat nihatahu....

Barang siapa terpancar cahaya diawalnya maka akan terpancar pula cahaya diakhirnya....
Kemudian di malam hari  kita  bisa  menikmati cahaya bintang bersama kebebasan yg tiada akhir.....dan merasakan kedamaian dan kesejukan bersama cahaya purnama yang indah.....
           Hemmmhhh…. Nafas Yanti  pun mendesah dengan kelembutan ”YAA  RABBI,  YAA  RABBI,  YAA RABBI....”

            Terlihat dia mencoba menatapku, tapi aku mencoba menepis dengan mengalihkan perhatiannya, walaupun secara sembunyi kulirik sedikit, cantik emang dia cantik, tapi ah kutepis jauh jauh pikiran itu.

            Senja pun merangkak perlahan -lahan keindahan yang tiada tara dari pedaran cahaya membuat lukisan Illahi dalam kombinasi pedaran warna yang menakjubkan, pancaran warna warna kuningnya melukiskan bianglala di atas dedaunan dan hamparan air laut  yang kini beubah warna jingga yang pupus, warna itu seperti melukiskan sisa  kesenduan yang masih memahat dalam hati.

 Hemmh sebuah lukisan ujung hari, laksana lukisan ujung kehidupan. Kilauan cahaya lembayung yang hampir tenggelam seperti menggoreskan kenangan yang melaju di ujung usia, seperti menoreh peristiwa masa silam. Suara angin    semakin lirih, deburan ombak terdengar bersahutan seolah-olah bertasbih memuja sang Illahi, pencipta keindahan dari segala yang paling indah,

Hari merangkak menuju rembang petang, akhirnya  aku mengajak Yanti  beranjak dari bukit Karang Bayawak menuju rumah,   setelah berjalan kira kira 10 menit sampai di persimpangan dia berpamitan sambal menyungingkan senyum.  Hemmh……senyum gadis belia polos tapi mungkin punya arti.

 

(BERSAMBUNG)
LihatTutupKomentar